Masih ingat? Sekitar dua tahun lalu, kantor berita ABC Australia memberitakan adanya warga negara Indonesia yang mendonasikan hampir seluruh gajinya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk membeli serum antibisa ular, yang kemudian didonasikan untuk menyelamatkan nyawa pasien gigitan ular berbisa di berbagai rumah sakit di Indonesia. Orang tersebut tak lain adalah Dr. dr. Tri Maharani, M.Si, Sp.EM, yang saat ini bekerja sebagai Kepala Departemen Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Daha Husada, Kediri, Jawa Timur.
Dr. dr. Tri Maharini, M.Si, Sp. EM | Hellosehat.Com |
Kepedulian "Dokter Tri", begitulah dia biasa dipanggil, adalah suatu kebanggaan bagi Indonesia, karena dengan cara seperti itu, Dokter Tri telah banyak menyelamatkan nyawa-nyawa mereka yang bekerja di lapangan (outdoor) atau mereka berprofesi dekat dengan alam liar, seperti petani, pegawai perkebunan, pertamanan, dan lainnya. Lalu, apa sebenarnya keahlian Dokter Tri ini? Menurutnya saat ini, keahliannya yaitu Toxinology, belum banyak ditekuni oleh dokter-dokter di Indonesia.
Berbeda dengan disiplin ilmu Toxicology yang mencakup lebih luas tentang toxin atau racun, pada Toxinology, ilmu tersebut lebih spesifik pada racun atau bisa hewan. Dan dari spesifikasi tersebut, Dokter Tri pun masih mengkhususkan diri lagi kepada penanganan gigitan ular (snake bite) di Indonesia. Alasan mengenai pilihannya tersebut, telah dijelaskannya dalam beberapa tayangan wawancara langsung di YouTube, di kanal-kanal pecinta satwa.
Namun dapat disimpulkan bahwa menurut Dokter Tri, komposisi protein pada toksinologi hewan amat sangatlah kompleks. Jangan dulu bicara hewan secara keseluruhan (baik yang berbisa (venomous) maupun yang beracun) hewan yang berbisa saja, menurutnya sangat kompleks strukturnya. Dan untuk mempelajari komposisi dari protein venom hewan, butuh metode, peralatan, dan juga teknologi yang cukup mahal. Padahal untuk penanganan kasus gigitan ular berbisa, butuh pemahaman komposisi protein venom yang baik.
Ambil contoh satu ular berbisa tinggi, yakni dari genus Naja sp. di Indonesia, baik di Jawa, Bali (Naja sputatrix), maupun Sumatera (Naja sumatrana). Meski kadar venom Naja atau yang umum disebut ular kobra, memiliki dominansi kadar cardiotoxin pada venom-nya, namun bila diteliti lagi lebih dalam, ternyata komposisi venom Naja juga terdapat haemotoxin, neurotoxin, bahkan juga ada necrotoxin. Dari bekal komposisi tersebut, akhirnya dibuatlah serum antibisa ular (SABU) kobra, yang dapat menetralisir toksin dengan kriteria tersebut.
Namun bagaimana dengan ular-ular berbisa yang belum tersedia SABU-nya dan menggigit manusia? Menurut Dokter Tri, maka penanganannya harus dilakukan dengan metode supporting, yakni penanganan khusus pada gejala yang terjadi. Misalnya bila terdapat gejala umum pengaruh neurotoxin, terpaksa si pasien harus dimasukkan ventilator pada tubuhnya, dan dipantau ketahanan hidupnya, apakah dia bisa bertahan hidup atau meninggal. Maka dari situlah Dokter Tri pun melihat pentingnya SABU bagi penyelamatan pasien, sehingga dia menggratiskan SABU untuk pasien gigitan ular se-Indonesia.
Dokter Tri saat ini pun tercatat sebagai peneliti di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dia juga membagikan pedoman khusus penanganan awal korban gigitan ular melalui berkas PDF yang ada di artikel ini. Cukup klik TRI untuk mendapatkan pedoman tersebut.
1 Comments
Trmksh bnyk
ReplyDelete