Ini sebenarnya seperti bahaya yang terselubung. Mengintip catatan Kepala Departemen Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Daha Husada, Kediri, Jawa Timur, Dr. dr. Tri Maharani, M.Si, SpEM, ternyata jumlah pasien kanker yang berobat ke rumah sakit, sebanding dengan jumlah pasien yang datang lantaran digigit ular berbisa.
Ular sanca kembang (tidak berbisa) namun dapat melilit untuk mematikan mangsa. |
Bisa kita lihat bersama dari potongan slide di bawah ini, berdasarkan data yang direkapitulasi Dokter Tri (panggilan akrab Dr. dr. Tri Maharani, M.Si, SpEM) selama 2021-2018.
Dari slide tersebut, dijelaskan bahwa ada sekitar 120 lebih penderita kanker yang ditangani oleh RSU Daha Husada selama periode tersebut. Tapi masih di tempat yang sama, petugas medis di sana menangani kurang lebih 120 orang yang datang setelah digigit ular berbisa. Dan sejak 2016 hingga 2018, tercatat antara 27 hingga 51 orang yang tewas akibat gigitan ular tersebut (pada grafik di bawah). Ini berarti persentase fatalitas (mematikan) gigitan ular berbisa di Kediri, sejak tahun 2012 hingga 2018 adalah 25% hingga 45% yang juga setara dengan penderita kanker stadium lanjut.
Namun bedanya, penyakit kanker memang menjadi satu hal yang wajib diberantas dengan cara menerapkan pola hidup sehat dan bersih, sedangkan ular berbisa bukanlah sesuatu yang menjadi musuh kehidupan manusia, meski potensi membunuh dari keduanya ternyata sama. Dari gambar di atas juga dapat dilihat bersama, bahwa ada jenis-jenis ular yang paling sering menyebabkan kematian pada manusia, akibat dari kandungan racun pada bisa (venom) di kelenjar ludahnya.
Maka dari fakta di atas, Dokter Tri mencoba mengajarkan kepada masyarakat bahwa sebaiknya hindari ular-ular mematikan tersebut, dengan cara mengenali lebih jauh spesies, karakter, serta morfologi (bentuk fisik) dari ular-ular maut itu. Adapun mengenai jenis racun yang terkandung dalam venom, dapat dibaca di artikel sebelumnya untuk dipahami bersama :
Menakar Kematian Kita dari Kadar Bisa Ular (exalosindonesia.org)
Namun pada artikel kali ini, Dokter Tri mengajak masyarakat Indonesia yang awam tentang ular, untuk memahami ular berbisa tinggi terlebih dahulu.
Karena berdasarkan pengklarifikasian ilmiah, di Indonesia ini terdapat 348 spesies ular, dengan beberapa diantaranya adalah spesies ular berbisa tinggi. Ular dari keluarga (famili) Colubridae di Indonesia, kebanyakan tidak berbisa. Namun ada satu genus dari Colubridae yang berbisa yakni Rhabdopsis sp. yang berbisa mematikan. Dari Rhabdopsis sp. tersebut pun masih terbagi lagi menjadi 29 spesies lagi. Namun di Indonesia, yang paling banyak dijumpai adalah Rhabdopsis subminiatus atau yang sering disebut ular picung. Selain berbisa, bagian kepala ular picung juga beracun.
Dokter Tri mencatat pada 2017 ada 2 orang yang tewas akibat Rhabdopsis subminiatus. Sedangkan ular berbisa mematikan lainnya, paling banyak datang dari keluarga Elapidae, termasuk ular sendok (cobra) dan raja tedung (king cobra). Bahkan dari data di atas, tampak king cobra bertanggungjawab atas sekitar 20 orang yang tewas pada 2017 dan 18 orang pada 2018. Padahal ukuran king cobra jelas besar bahkan dinobatkan sebagai ular berbisa terbesar di dunia. Sehingga cukup mengherankan juga, kenapa ular sebesar itu bisa membunuh banyak orang. Padahal secara kasat mata bisa dihindari.
Tak seperti ular dari keluarga Viperidae yang satu ini, yang menjadi penyebab kematian terbesar kedua setelah king cobra, yakni ular gibug (Calloselesma rhodostoma). Tercatat 5 hingga 10 orang yang tewas akibat gigitannya dan juga sifatnya yang sangat baik berkamuflase, sehingga banyak orang mengatakan ular ini adalah ranjau darat. Biasanya, dia menyerang lantaran terinjak tak sengaja oleh orang yang sedang lewat dan tak melihat kehadirannya di antara dedaunan kering, di hutan atau kebun.
Safety
Kembali ke king cobra, ternyata menurut Ketua Exalos Indonesia, Koptu (Inf) Janu W. Widodo, kasus gigitan ular ini selain lantaran si ular merangsek ke rumah-rumah warga yang bersebelahan dengan hutan atau lahan hijau yang lebat, juga akibat dari ketidakpahaman sifat dan karakter king cobra. Karena kasus kematian akibat gigitan king cobra juga cukup banyak terjadi kepada mereka yang memeliharanya (keeper). Karena sudah cukup lama menangani king cobra dan merasa 'akbrab' dengan peliharaannya, mereka lupa bahwa setiap binatang punya animal instict yang dapat menyerang kapanpun.
"Maka di Exalos Indonesia, yang kami sangat tekankan adalah safety handling. Jangan coba-coba melakukan free handling dengan tangan kosong, hanya bermodalkan melihat dari tayangan atau pertunjukan seorang pawang ular. Butuh pelajaran dan pengalaman yang sangat panjang," ungkap Janu Widodo. Kemudian kembali pada data grafik tentang jenis ular mematikan, tampak ternyata ular sendok atau genus Naja sp. (Ada spesies Naja sputatrix di Pulau Jawa dan Naja Sumatrana di Sumatera), tidak terlalu banyak menimbulkan kematian dari gigitannya.
Hal tersebut menurut Janu Widodo, karena ular kobra dewasa dan ular kobra muda, memiliki karakter pengeluaran venom yang berbeda. "Yang sudah dewasa, sering melakukan dry bite atau mematuk tapi tidak menggigit, yang artinya tidak dia keluarkan venom dari taringnya," papar Janu Widodo. Atau kalaupun menyuntikkan bisa, tidak banyak, karena kerja venom gland pada cobra tua semakin berat. Sehingga mereka sangat menjaga keluarnya bisa saat berhadapan dengan mahluk lainnya. Sedang cobra yang masih kecil, seringnya langsung menggigit dan mengeluarkan bisa sebanyak-banyaknya.
Sedangkan pada king cobra, sejak lahir, karakternya dalam menyuntikkan venom selalu banyak. Setidaknya 150 miligram venom dari taringnya dapat dia suntikkan ke kulit orang, ketika dia menyerang. Parahnya, serangannya bisa lebih dari sekali. Padahal kandungan venom yang hanya 1,2 miligram saja, bisa membunuh sekitar 50% populasi manusia. Itulah sebabnya, king cobra menjadi salah satu ular mematikan di dunia (terbukti juga di Indonesia melalui catatan Dokter Tri) lantaran karakter menyerangnya.
Dari data tersebut, dari lima besar ular mematikan, tampak ada satu ular dari keluarga Elapidae yakni Bungarus candidus (weling) dan Bungarus fasciatus (welang) yang ikut bertanggungjawab atas kematian banyak orang. Ular ini sebenarnya berkarakter malu-malu kucing alias tidak menyerang kalau tidak terpojok. Tapi perhatikan bahwa hanya dengan 0,72 miligram saja, bisa membunuh lebih dari setengah populasi orang dewasa di sebuah perkantoran.
Maka kembali pada pesan Dokter Tri, setidaknya bagi mereka yang sangat menggemari kegiatan luar ruangan (outdoor) wajib mengetahui dan mempelajari spesies ular berbisa tinggi. Karena dengan mengetahui spesies ular berbisa tinggi tersebut, maka bila kita bertemu ular dari luar spesies itu, berarti kadar bisa mereka rendah atau menengah.
Ular berbisa tinggi, umumnya di Jawa dan Sumatera, adalah king cobra (Ophiophagus hannah), Calloselesma rhodostoma (ular gibug) yang jago berkamuflase, Trimeresurus sp. (ular hijau ekor merah) yang banyak hidup di pepohonan, Bungarus sp. (welang dan weling) di sungai kecil dan selokan, serta Rhabdopsis subminiatus (ular picung) yang banyak hidup di hulu sungai, dengan bentuk yang cukup indah. Sedangkan di kawasan timur seperti Papua dan Nusa Tenggara, waspadai ular taipan (Oxyuranus sp.), death adder (Acanthopis sp.), dan ular ikaheka (Micropechis ikaheka) yang banyak terdapat di Kupang.
1 Comments
Mantap
ReplyDelete